Resensi Film (Film laga futuristik pertama di Indonesia)

Nama : Azzara Millentia

Kelas : KPI 7A

NIM : 1174020028



Banyak sekali film Indonesia yang seru, menarik, susah di tebak alur ceriranya dan sulit dilupakan. Dari beberapa film Indonesia yang akhir-akhir ini baru saya tonton yaitu Surga yang Tak Dirindukan 1 & 2, Imperfect , Galih dan Ratna, Orang Kaya Baru, Milly & Mamet, Matt & Mou, Trinity The Nekad Traveler tetap yang menarik bagi saya adalah film yang berjudul 3: Alif Lam Mim, karena berceritakan tentang agama islam didalamnya tetapi dikemas secara menarik tidak mainstream seperti film yang lainnya dan menjadi salah satu film favorit saya saat ini. Ya film itu lumayan film lama yaitu 5 tahun yang lalu tepatnya 2015.


Jelas saja menjadi salah satu film terbaik karena pada ajang Festival Film Indonesia 2015, film ini mendapatkan lima nominasi, yaitu Skenario Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik,Pemeran Anak Terbaik , Tata Suara Terbaik serta Efek Visual Terbaik.


Film ini diperankan oleh Cornelio Sunny sebagai Alif, Abimana Aryasatya sebagai Lam, dan Agus Kuncoro sebagai Mim. Ketiganya lah tokoh utama.


Film ini menarik karena bercerita tentang persahabatan, persaudaraan, dan drama keluarga dan menjadi salah satu adalah film laga futuristik pertama di Indonesia


Mengenai judul, sang sutradara memiliki pendapat tersendiri mengenai makna dari Alim Lam Mim. Alif itu kan lurus bentuknya, jadi menggambarkan sebagai api. Lam itu seperti udara. Mim itu kan ke bawah  bentuknya seperti air. Jadi digambarkan seperti avatar. Memang judul dari film ini memancing  beragam tafsiran sesuai dengan sudut pandang dari masing-masing orang yang menafsirkannya. Keberagaman sudut pandang inilah yang kemudian lebih banyak dibahas dalam setiap adegan film ini.


Film Alif Lam Mim bercerita tentang persahabatan tokoh Alif, Herlam dan Mimbo. Mereka tumbuh bersama di sebuah padepokan silat bernama Al-Ikhlas. Lebih tepatnya Pondok Pesantren Al-Ikhlas yang dipimpin oleh Kiai Mukhlis.


Walaupun sangat akrab, ketiganya memiliki cita-cita yang berbeda. Alif, bertekad untuk menjadi seorang aparat Negara yang dapat menegakkan hukum yang benar. Sedangkan Herlam (Lam) memilih untuk menyampaikan kebenaran lewat tulisan. Adapun Mimbo (Mim), memutuskan untuk mengabdikan kehidupannya sebagai seorang pengajar di Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Meskipun jalan yang mereka pilih berbeda, akan tetapi mereka memiliki satu tujuan yang sama yaitu membela kebenaran dan memegang teguh idealisme.



Singkat cerita, pada akhirnya mereka dapat mewujudkan cita-cita tersebut. Alif dapat bergabung sebagai penegak hukum dalam pasukan elit Detasemen 38: 80-83, Lam menjadi seorang Jurnalis di Libernesia, dan Mim mengabdi sebagai ustadz di Pondok Pesantren Al-Ikhlas.


Arie Untung selaku produser mengakui bahwa banyak hal dalam film ini terinspirasi dari kisah-kisah dizaman Rasulullah Muhammad SAW. Namun inspirasi tersebut dikemas ulang sesuai dengan konteks abad 21.

Contohnya pada pemilihan angka Detasemen 38: 80-83, yang merupakan nama dari pasukan elit tempat Alif bernaung. Angka-angka tersebut bukan tanpa makna. 38: 80-83 merujuk pada Al-Qur’an surat ke 38 yaitu Shad ayat 80-83.


Pemaknaan dari potongan ayat tersebut kemudian digambarkan dengan jelas pada salah satu adegan saat Alif diracuni oleh pimpinan Kolonel Mason, atasannya. Berikut ini adalah cuplikan kalimat yang diutarakan oleh pimpinan Kolonel Mason yang tidak diketahui namanya kepada Alif.


Menurut pendapat saya keunggulan dari film ini yaitu merupakan salah satu film yang menarik di genrenya tentunya layak untuk di tonton, walaupun film lumayan lama(2015) namun teknologi yang di gunakan dalam film sudah teramat canggih, hingga saat saya menonton pada tahun 2020 saja masih amaze melihat film Indonesia seperti itu dan tentunya masih seru untuk ditonton ulang, mengenai waktu penggarapan yang singkat dibandingkan film sejenis (Pembuatan naskah 6 bulan, persiapan 3 bulan, workshop 2 bulan, syuting 26 hari, dan CGI 2 bulan. Total pengerjaan kurang lebih 1,5 tahun) dan yang utama semua dikerjakan oleh para sineas Indonesia yang menjadi Film laga futuristik pertama di Indonesia. Sedangkan kekurangannya ada kendala di penggarapan trailernya. Trailer tampil kurang meyakinkan untuk memberikan cuplikan dari isi film ini, karena ide pada film begitu kompleks sehingga agak sulit menyampaikan dalam bentuk sebuah trailer.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A lil bit about me

Laporan Kegiatan Praktek Profesi Magang (PPM) di Inspira TV

Spending 24/7 self quarantine for watching movie or some series